Laman

Kamis, 23 Desember 2010

Upacara Bhuta Yadnya

BAB I

PENDAHLUAN

1.1 Latar Belakang

Pada setiap saat di pelemehan desa adat banjar juga di pekarangan pauahan umat Hindu di Bali menyelengarakan suatu upacara yang disebut “Mecaru”. Demikian juga pada setiap musim (masa) yang juga disebut “Sasih” pada hari Kajeng Kliwonya pada bulan mati. Pada setiap pintu pekarangan umat Hindu juga menyelenggarakan pecaruan yang disebut “Carun Sasih”.

Upacara-upacara tersebut secara rutin masih dilakukan oleh umat Hindu dipedesaan. Namun apa sesungguhnya upacara dimaksud dan apa tujuannya ternyata banyak dikalangan umat Hindu yang tidak tahu. Kalau ditanya ya jawabnya “mule keto”. Hal ini tidak tidak boleh dibiarkan terus. Lebih-lebih dalam memasuki era globalisasi. Oleh karena itu upacara-upacara tersebut diatas perlu diungkapkan secara ilmiah popular untuk mudah dipahami terutama oleh umat Hindu sendiri, bila hal ini kita tidak lakukan akan timbul kekhawatiran nantinya tentang kelanjutan pelaksanaan upacara dimaksud.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang akan diungkapkan sesuai dengan judul makalah ini antara lain :

  1. Apa sesungguhnya caru itu dan apa yang melatar belakangi adanya cari itu?
  2. Apa maksud dan tujuan caru itu ?
  3. Apa arti simbol-simbol yang dipergunakan dalam caru itu?
  4. Jenis-jenis caru ?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Caru Dan Bhuta Yadnya

2.1.1 Pengertian Caru

Dalam kamus Sansekerta dijumpai arti kata caru itu adalah bagus, cantik, harmonis. Mecaru dalam bahasa Bali artinya menyelenggarakan caru yang mempunyai maksud mempercantik, memperbagus dan mengharmoniskan. Apakah yang diharmoniskan ? tergantung pada obyeknya. Kalau caru itu caru palemahan atau areal itu sendiri. Kalau caru sasih maka yang diharmoniskan adalah waktu atau musim atau masa. Sedangkan caru oton yang diharmoniskan adalah perilaku manusia yang antara lain diakibatkan oleh pengaruh kelahiran atau oton. Caru juga mempunyai pengertian yang khusus, yang dikaitkan dengan sarana upacara. Caru sebagai sarana berarti “sega” atau nasi dalam segala bentuknya, ada yang berbentuk tumpeng kecil-kecil. Sega atau nasi dilengkapi dengan lauk pauk.

2.1.2 Bhuta Yadnya

Bhuta yadnya terdiri dari dua kata yaitu bhuta dan yadnya. Bhuta berasal dari kata bhu yang artinya ada, tampak dengan mata kasar. Buta sesuai dengan sifatnya, ia pasif, tidak bergerak, tenaga atau energi dalam bahasa yoga adalah “prana”. Dalam bahasa agama disebut kala. bersatunya bhuta atau benda-benda material yang sangat besar dan banyak ini lalu bergerak dengan sangat hebatnya.

2.2 Sumber Ajarannya

Bhuta yadnya, korban kepada Bhuta Kala adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana, Tantrayana termasuk sekta-sekta atau saktiisme dan mazab Siwa (Siwa Paksa), disebut saktiisme karena yang dijadikan obyek persembahannya adalah sakti, sakti dilukiskan sebagai Dewi, sumber kekuatan atau tenaga, sakti adalah simbol dari Bali atau kekuatan (sakti is the symbol of bala or strength).

Dengan demikian saktiisme sama dengan kalaisme sekte keagamaan “kalaisme’ disebut juga “kalamukha” atau “kalikas” dan disebut juga “kapalikas” atau Tantrayana kiri. Pengikut ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India dari pendekatan antropologi budaya kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.

2.3 Jenis-Jenis Caru

Dimuka telah dijelaskan, bahwa caru adalah bertujuan untuk mengharmoniskan alam lingkungan dengan segala aspeknya termasuk yang ada pada diri manusia sebagai bagian dari alam itu sendiri (Bhuana Alit).

Dengan demikian menurut obyeknya maka caru terdiri dari tiga jenis yaitu :

1. Caru Bumi Sudha adalah caru untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan bumi atau alam sekitar dan lingkungannya.

2. Caru Sasih adalah caru untuk menyeimbangkan atau mengharmoniskan ruang dan waktu.

3. Caru Oton atau bea kaluning rare metu adalah caru untuk mengharmoniskan perilaku manusia atas pengaruh kelahiran.

Caru Palemahan

Caru pelemahan adalah upacara untuk mengharmoniskan “areal palemahan atau wilayah” areal yang dimaksudkan adalah wilayah hunian, baik hunian manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan juga termasuk areal yang di istana para dewa-dewa yang kita kenal dengan nama perhayangan.

Besar kecil palemahan dan juga tingkatan pelemahan akan menekankan besar kecilnya caru yang digunakan untuk menyucikan palemahan itu.

Palemahan terdiri dari :

1. Palemahan karang.

2. Palemahan banjar.

3. Palemahan desa adat.

4. Perhyangan

Jenis caru yang dilaksankan untuk mengharmoniskan karang perumahan adalah :

1. Caru Eka Sata

Caru eka sata digunakan untuk mengharmoniskan karang perumahan yaitu :

a. Caru kareng panas adalah selalu mendatangkan penyakit bagi penghuninya.

b. Caru karang gering, ciri-cirinya adalah penghuninya selalu kesakitan.

2. Caru Panca Sata

Caru panca sata adalah jenis caru yang mempergunakan lima ekor ayam warna menurut lima mata angin (pangider ider) putih di timur, merah atau bying (kuning) di selatan, hitam (ireng) di utara, putih kuning di barat, dan brumbun ditengah.

Pengguaan jenis caru ini antara lain :

1. Untuk membersihkan pekarangan rumah yang dilaksanakan tiap 5 tahun sekali.

2. Untuk merebu-rebu (mebersih) di perhyangan, setelah adanya ke “cuntaka” atau bersama piodalan dalam tingkat yang lebih besar.

3. Di banjar atau desa adat setiap hati “ngerupuk” pada sasih kesanga atau ketika ada sesuatu hal yang tidak wajar.

3. Caru Panca Sanak

Caru panca sanak adalah caru yang dasarnya adalah panca sata, lalu ditambah dengan satu unit lagi, yang ditempatkan dibarat daya. Binatang yang dipergunakan adalah anjing bang bungkem. khususnya unit caru anjing ini adalah merupakan simbol dari Bhuta Kala yang dibawah kekuasaan Dewa Rudra. Unit caru anjing bang bungkem lebih angker, lebih aheng, lebih galak.

4. Caru Panca Sanak Madurga

Caru panca sanak yaitu caru yang mempergunakan ayam lima ekor dengan lima warna, dengan tambahannya seekor meri dan seekor binatang berkaki empat yang berupa “kucit hitam butuhan”.

Caru ini dipergunakan pada caru-caru “penakluk marana” yang diselenggarakan di “penangkalan desa” pada sasih keenem yang dimaksud penangkalan desa adalah batas desa bagian selatan (kelod).

5. Caru Sanak Magodel

Bila mana caru panca sata ditambah degan satu unit caru dengan “bayang-bayang” dan “olahan godel” maka disebut caru panca sanak, tapi bukan ditemukan namanya oleh masyarakat dewa. Disebut juga dengan nama caru panca godel. Caru ini dilaksanakan pada tileming kepitu atau kajeng kliwon uwudan (bulan mati pada sasih kepitu). Caru panca godel dipersembahkan kepada “Bhatari Durga’.

6. Caru Rsi Gana

Adalah caru panca sanak agung ditingkatkan dengan menghadirkan “Dewa Gana” sebagai “Penghulun Natangan” jadi Dewa Gana pada Siwa sebagai penghulun rinlangan luh yang dihadirkan. tujuannya adalah agar tempat itu tidak ada gangguan dari pada Bhuta Kala yang merupakan “vadya” dan Bhatari Durga. Dengan demikian terwjudlah keharmonisan.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah menyimak makalah ini tentang caru maka dapat disimpulkan bahwa caru itu bertujuan mengharmoniskan wilayah palemahan dan waktu demi ketentraman bagi umat manusia dan juga adanya korban caru bukan berarti umat menyembah Bhuta Kala seperti setan, jin, raksasa, pisaca, danawa dan lain sebagainya, melainkan hanya menjaga hubungan yang harmonis agar mereka tidak menganggu kehidupan manusia.

3.2 Saran

Manusia yang beragama Hindu diwajibkan melaksanakan caru agar tercipta hubungan yang harmonis dengan mahluk lain.


DAFTAR PUSTAKA

Singgih Wikarma, I Nyoman. 1998. Caru Pelemahan Dan Sasih. Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut. 2002. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita




MAKALAH TPA

UPACARA BHUTA YADNYA

(CARU)

DISUSUN OLEH

Nama : Wayan Ardane

Nim : 061 111 51

Prog/Jur : S1/Pendidikan

Semester : IIIB (Pagi)

DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI GDE PUDJA

MATARAM

2009


KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penyusunan makalah yang berjudul “Upacara Bhuta Yadnya (Caru)” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak akan membuahkan hasil yang baik, tanpa bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu dosen pengampu mata kuliah Weda yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta rekan-rekan Mahasiswa yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada penulis.

Dalam penyusunan ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan pada kesmpatan ini penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan penulisan pada masa-masa mendatang.

Om Santi, Santi, Santi Om

Mataram, Januari 2009

Penulis,


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Caru Dan Bhuta Yadnya........................................... 2

2.2 Sumber Ajarannya....................................................................... 2

2.3 Jenis-Jenis Caru............................................................................ 3

BAB III ........................................................................................................... PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................. 6

3.2 Saran............................................................................................ 6

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar